Jangan Berdzikir Saat Susah Saja
...jangan tunggu hati gundah baru berdzikir. Jadikan dzikir sebagai cara hidup, bukan alat pemadam kebakaran batin.
Jangan Berdzikir Saat Susah Saja - Dzikir bukan sekadar lantunan kalimat suci di bibir. Ia adalah napas batin yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta di setiap denyut kehidupan. Dalam Islam, dzikir berasal dari kata dzikr yang berarti mengingat atau menyebut. Namun, makna terdalamnya jauh lebih luas, hadirnya kesadaran bahwa Allah selalu ada, mengawasi, dan menyertai setiap langkah hamba-Nya.
Banyak orang memahami dzikir hanya sebatas ucapan lisan—tasbih, tahmid, tahlil, atau takbir. Padahal, hakikat dzikir adalah kesadaran spiritual yang menembus ruang dan waktu. Dzikir sejati membuat seseorang merasa dekat dengan Allah, baik dalam kesendirian maupun keramaian, dalam suka maupun duka.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan bukan datang dari keadaan luar, melainkan dari kedalaman hubungan dengan Allah.
Menariknya, Allah lebih sering mengingat hamba-Nya daripada manusia mengingat Allah. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan, “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di keramaian, Aku mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari itu.” Betapa lembut kasih Allah—bahkan sebelum kita berdzikir, Dia telah terlebih dahulu mengingat kita.
Maka, dzikir bukan hanya ibadah ritual di masjid atau majelis taklim. Ia harus menjadi bagian dari keseharian—saat bekerja, berdagang, mengajar, rapat, bahkan saat mengemudi di tengah kemacetan. Hati yang senantiasa terhubung kepada Allah akan menemukan ketenangan di mana pun ia berada.
Namun ada paradoks menarik: mengapa sebagian orang yang rajin berdzikir masih merasa gelisah, cemas, dan kehilangan arah? Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menjelaskan rahasia keajaiban hati (‘ajaib al-qalb). Menurut beliau, zikir hanya akan berpengaruh jika hati bersih dari “makanan setan”.
Ia memberi perumpamaan yang indah. Jika seseorang berjalan lalu ada anjing menggonggong dan ia menghardiknya, anjing itu akan pergi. Tapi jika di sekitar anjing itu banyak daging dan tulang, maka ia tidak akan pergi, bahkan akan kembali. Begitulah hati manusia: jika dipenuhi “makanan setan”—yakni sifat rakus, iri, dengki, dan cinta dunia berlebihan, maka zikir tidak akan mengusir kegelisahan.
Zikir ibarat cambuk yang menyingkirkan setan dari hati. Tetapi bila hati kotor, cambuk itu tidak lagi menakutkan. Setan bahkan bisa “ikut berdzikir” bersama kita, menipu dengan rasa tenang yang palsu. Karena itu, pembersihan hati menjadi syarat utama agar dzikir berfungsi sebagai penenang sejati.
Al-Ghazali menyebut penyakit hati paling berbahaya adalah al-hirts — kerakusan. Orang yang hatinya dikuasai ambisi duniawi akan sulit merasakan kehadiran Allah. Ia akan terus mengejar lebih banyak, tak pernah puas, dan perlahan tuli terhadap suara nurani. Dalam kondisi itu, dzikir hanya menjadi gerakan bibir tanpa makna.
Rasulullah SAW bersabda, “Cinta yang berlebihan terhadap sesuatu akan membuat seseorang buta dan tuli.” Ketika hati dipenuhi cinta dunia, maka nama Allah yang terucap tak lagi menggugah. Dzikirnya menjadi hampa, dan ketenangan yang dijanjikan pun tak pernah datang.
Satu kesalahan umum adalah menjadikan dzikir sebagai “obat darurat”—baru diingat ketika ada masalah, ketika sakit, atau ketika kehilangan sesuatu. Padahal dzikir yang menenangkan adalah dzikir yang hidup, yang dilakukan dalam keadaan lapang maupun sempit. Ibarat seseorang yang menyiapkan perisai sebelum peperangan, bukan sesudah terluka.
Orang yang hanya berdzikir saat terpuruk akan menemukan dzikirnya terasa kering. Sebab hatinya tidak terbiasa berdialog dengan Allah di saat tenang. Ketika badai datang, ia baru mencari jangkar. Padahal, ketenangan hanya bisa tumbuh dari kebiasaan yang konsisten.
Dzikir yang sejati bukan untuk memanggil ketenangan, tapi untuk mempertahankannya. Ia bukan pelarian dari masalah, tapi fondasi agar masalah tidak merobohkan hati. Orang yang hatinya berdzikir akan tetap tenang meski dunia seolah berantakan.
Nabi Yunus AS menjadi contoh agung tentang kekuatan dzikir. Ketika ia terkurung dalam perut ikan, di kegelapan laut dan malam, ia tidak menyerah. Ia berdoa, “Laa ilaaha illa anta, subhaanaka inni kuntu minazh-zhaalimin” (QS. Al-Anbiyaa: 87). Dzikir itu menyelamatkannya, karena hatinya sudah terbiasa menyebut nama Allah bahkan sebelum musibah datang.
Demikian pula Nabi Ibrahim AS, yang hatinya tetap tenang saat dicampakkan ke dalam api. Dzikir yang terpatri dalam jiwanya membuat api menjadi dingin dan keselamatan baginya. Dzikir bukan sihir, melainkan energi spiritual yang menundukkan alam karena kekuatan keyakinan.
Bahkan Rasulullah SAW pun senantiasa berdzikir dalam setiap keadaan. Aisyah RA pernah berkata, “Rasulullah selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan.” Ini menunjukkan bahwa dzikir bukan aktivitas musiman, tetapi napas kehidupan seorang mukmin.
Ketika dzikir menjadi kebiasaan, maka segala hal di sekitar ikut menjadi cermin ketenangan. Alam tampak indah, masalah terasa ringan, dan hati mudah menerima takdir. Orang yang berdzikir dengan kesadaran tidak lagi mudah tersulut emosi, karena ia tahu bahwa setiap kejadian adalah bagian dari rencana Allah yang bijaksana.
Di sisi lain, dzikir bukan hanya tentang mengingat, tapi juga tentang diingat. Allah berjanji dalam Al-Baqarah ayat 152, “Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu.” Betapa besar kehormatan ini—disaat manusia mudah lupa kepada-Nya, Allah justru tak pernah lupa pada kita.
Karenanya, jangan tunggu hati gundah baru berdzikir. Jadikan dzikir sebagai cara hidup, bukan alat pemadam kebakaran batin. Biarlah nama Allah menjadi irama yang terus berdenyut di dada, menuntun langkah agar tetap pada jalan yang tenang dan penuh cahaya.
Dzikir adalah seni merasakan kehadiran Allah di setiap waktu. Ia menembus kesibukan, menenangkan kegelisahan, dan menghidupkan harapan. Siapa yang terbiasa mengingat Allah di kala lapang, maka Allah akan menenangkannya di kala sempit. Karena sesungguhnya, hati yang berdzikir adalah hati yang selalu dijaga oleh cinta-Nya.
Berita Terkait
Saat Dunia Tak Menjawab, Langit Selalu Mendengar
24 Oktober 2025
Bertakwa Lewat Mulut
23 Oktober 2025Komentar (1)
Tinggalkan Komentar
Andi
24 Oktober 2025Bagus artikelnya