Bertakwa Lewat Mulut
Ucapan yang tajam sering keluar tanpa disadari, bahkan terhadap saudara seiman sendiri.
Bertakwa Lewat Mulut - Dalam kehidupan sehari-hari, mudah sekali terjerumus pada kebiasaan mencela sesama. Ucapan yang tajam sering keluar tanpa disadari, bahkan terhadap saudara seiman sendiri. Namun, Islam menekankan agar setiap Muslim menjaga lisan dan akhlak, karena mencela adalah perbuatan yang mendatangkan dosa.
Rasulullah SAW menegaskan hal ini melalui nasihatnya kepada seorang Arab yang tinggal di gunung. Ketika ditanya tentang agama, beliau cukup sederhana dalam jawabannya: “Bertakwalah kepada Allah.” Kesederhanaan itu mengajarkan bahwa ketakwaan bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga etika dalam berinteraksi.
Nabi SAW melanjutkan nasihatnya, “Jika ada orang yang mencelamu dengan sesuatu yang dia mengetahui ada padamu, maka jangan kamu mencela dia dengan sesuatu yang kamu ketahui ada padanya. Biarlah dia menanggung dosanya, sedangkan kamu memperoleh pahala.”
Dari peringatan ini, jelas bahwa membalas celaan dengan celaan bukanlah sifat seorang Muslim yang beriman. Justru, menahan diri dari membalas perkataan buruk adalah jalan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau dikenal sangat sabar dan berhati-hati dalam tutur kata. Bahkan ketika menghadapi permusuhan, beliau tetap menjaga akhlak dan tidak pernah membalas dengan keburukan yang sama.
Sebuah kisah menegaskan pelajaran ini. Setelah Fathu Makkah, Nabi Muhammad SAW mengunjungi Thaif, daerah yang pernah menolak dakwah beliau dan melempar beliau dengan batu. Meski pernah disakiti, beliau tetap mengajarkan akhlak yang mulia.
Dalam perjalanan, beliau ditemani Abu Bakar dan dua putra Said bin Ash. Mereka melewati sebuah permakaman, dan Abu Bakar bertanya siapa yang dikuburkan di sana. Jawaban orang setempat adalah kuburan Said bin Ash, yang dulu memusuhi Rasulullah SAW.
Abu Bakar spontan berkomentar bahwa orang tersebut pantas dilaknat karena permusuhannya terhadap Allah dan Rasul. Namun, putra Said bin Ash menanggapi dengan tegas, menunjukkan rasa hormat terhadap ayah mereka.
Nabi Muhammad SAW segera menenangkan situasi. Beliau mengingatkan Abu Bakar, bahwa menyinggung orang kafir secara khusus bisa melukai perasaan anak-anaknya. Dalam hal ini, Rasulullah menunjukkan bahwa menghindari celaan tetap penting meski terhadap musuh.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa tidak pantas mencela orang lain, bahkan dalam keadaan emosi atau dendam. Lisan seorang Muslim harus tetap menebar kebaikan, bukan menyebar kebencian.
Al-Qur’an juga menegaskan larangan mencela sesama Muslim. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka lebih baik dari mereka.” (QS. Al-Hujurat: 11).
Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk menghormati dan tidak merendahkan satu sama lain. Menghina saudara seiman bukan hanya menyakiti hati, tetapi juga bisa membawa dosa yang besar.
Hadis Nabi SAW juga menekankan hal yang sama: “Janganlah seorang Muslim menjelek-jelekkan saudaranya, karena siapa yang menjelekkan saudaranya berarti ia telah berdosa.” (HR. Muslim).
Sifat mulia ini harus menjadi pedoman dalam setiap interaksi. Ketika ada perbedaan pendapat, sebaiknya diselesaikan dengan cara santun, bukan dengan celaan atau hinaan.
Rasulullah SAW menunjukkan bahwa akhlak karimah lebih penting daripada membalas keburukan. Kesabaran, kelembutan, dan menghindari ucapan yang menyakitkan adalah bagian dari iman yang sejati.
Bahkan dalam kasus orang yang memusuhi beliau, Nabi tetap mengajarkan untuk menyebut secara umum, bukan secara pribadi. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita agar tidak mempermalukan atau mencela secara spesifik.
Membalas keburukan dengan kebaikan adalah prinsip Islam yang diajarkan Rasulullah SAW. Seorang Muslim harus mengutamakan perdamaian, akhlak mulia, dan menjaga hubungan harmonis dengan sesama.
Akhlak ini bukan hanya menenangkan hati orang lain, tetapi juga memberi ketenangan batin bagi pelakunya. Lisan yang dijaga adalah cerminan ketakwaan dan karakter seorang mukmin.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk introspeksi: apakah kita masih sering mencela atau menyinggung saudara seiman? Jika iya, segera hentikan dan ganti dengan kata-kata yang membangun dan menenangkan.
Meneladani Nabi Muhammad SAW berarti menahan diri dari celaan, menjaga keharmonisan sesama Muslim, dan menebar kebaikan. Dalam setiap langkah, kita harus ingat bahwa lisan yang baik adalah investasi pahala dan penjaga hati.
Berita Terkait
Jangan Berdzikir Saat Susah Saja
24 Oktober 2025Saat Dunia Tak Menjawab, Langit Selalu Mendengar
24 Oktober 2025Komentar (0)
Tinggalkan Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!