Doa Tak Terkabul Bukan Karena Allah Diam, Tapi Karena Kita Jauh

Setiap insan pernah menengadah ke langit dengan penuh harap. Menyebut nama Allah di sela-sela tangis, meminta agar satu keinginan terwujud.

Agama Oleh: Mukmin 26 Oktober 2025 73x dilihat
Doa Tak Terkabul Bukan Karena Allah Diam, Tapi Karena Kita Jauh
Doa Tak Terkabul Bukan Karena Allah Diam, Tapi Karena Kita Jauh. Foto: Gubukcybernews.

Doa Tak Terkabul Bukan Karena Allah Diam, Tapi Karena Kita Jauh - Setiap insan pernah menengadah ke langit dengan penuh harap. Menyebut nama Allah di sela-sela tangis, meminta agar satu keinginan terwujud. Namun, tak jarang, waktu berlalu dan doa itu tak kunjung terkabul. Lalu muncul tanya dalam hati: apakah Allah tidak mendengar? Ataukah doa kita tidak cukup kuat untuk mengetuk pintu langit?

Kisah klasik dari seorang ulama besar, Ibrahim bin Adham, menjadi cermin bagi banyak orang yang merasakan hal serupa. Saat beliau ditanya oleh masyarakat Bashrah, mengapa doa mereka tidak dikabulkan padahal Allah telah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan” (QS Ghafir [40]: 60), jawabannya sungguh menampar: “Karena hati kalian telah mati.”

Sebuah jawaban singkat, namun dalam maknanya. Bukan karena Allah menolak doa kita, tetapi karena doa yang kita panjatkan lahir dari hati yang beku, yang tidak lagi hidup dengan kesadaran akan siapa yang dimintai. Doa yang tak disertai keimanan dan ketundukan sejati hanyalah suara tanpa jiwa.

Dalam Islam, doa bukan sekadar permintaan, tapi juga pengakuan bahwa kita lemah dan Allah Maha Kuasa. Ketika seseorang berdoa, ia sebenarnya sedang menegaskan kebergantungan total kepada Sang Pencipta. Maka, doa bukan pelengkap usaha; doa adalah inti dari segalanya. Usaha hanyalah bentuk konkret dari keyakinan terhadap doa itu sendiri.

Sering kali kita terjebak dalam logika dunia: bahwa hasil ditentukan oleh kerja keras, strategi, atau kecerdikan. Padahal, dalam pandangan tauhid, yang menentukan hanyalah Allah. Usaha hanyalah sarana, tapi keputusan akhir berada di tangan-Nya. Seberapa besar pun daya kita, tanpa izin Allah, tak ada satu pun yang bisa terjadi.

Namun, mengapa masih banyak doa yang tak terkabul? Dalam kisah Ibrahim bin Adham, ada sepuluh sebab hati menjadi mati — dan di sanalah kunci mengapa doa kita terhenti di langit pertama. Karena doa bukan hanya ucapan, tapi gema dari hati yang hidup, bersih, dan tunduk.

Pertama, karena kita mengakui Allah sebagai Pencipta, tapi tidak menunaikan hak-hak-Nya. Kita tahu Allah berhak ditaati, namun perintah-Nya hanya dijalankan bila cocok dengan keinginan kita. Bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa dari hamba yang mematuhi hanya separuh perintah-Nya?

Kedua, kita membaca Al-Qur’an tanpa mengamalkannya. Ayat-ayat Allah kita lantunkan, tapi tidak kita jadikan pedoman. Sedang Allah berfirman, “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 2). Tanpa pengamalan, Al-Qur’an hanya menjadi suara tanpa makna di telinga.

Ketiga, kita mengaku memusuhi setan, namun justru menuruti bisikannya. Kita tahu apa yang salah, tapi tetap melangkah di jalan itu. Maka bagaimana doa bisa menembus langit, jika hati kita sibuk berjalan mengikuti langkah musuh abadi manusia?

Keempat, kita mencintai Rasulullah SAW, tapi meninggalkan sunnahnya. Rasul mengajarkan kasih, amanah, dan kepedulian pada yatim, tapi dunia modern menjauhkan manusia dari teladan itu. Jika cinta hanya di bibir, maka doa hanyalah gema kosong tanpa keberkahan.

Kelima, kita menginginkan surga, tapi tidak menanam amal untuk memasukinya. Kita tahu tiket masuk surga adalah amal saleh, tapi waktu kita habis untuk dunia. Bukankah Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11).

Keenam, kita takut neraka, tapi tetap berbuat dosa. Dosa yang dianggap kecil tetap menjadi penghalang besar antara kita dan Allah. Bagaimana doa bisa naik, jika jalan ke langit ditutupi oleh maksiat yang kita pelihara?

Ketujuh, kita percaya kematian pasti datang, tapi tak bersiap menyambutnya. Padahal setiap kali kita menyolatkan jenazah, itu adalah peringatan langsung dari Allah bahwa waktu kita pun akan tiba. Tapi kita masih lalai, seolah kematian hanya untuk orang lain.

Kedelapan, kita sibuk mencari kesalahan orang lain sementara lupa memperbaiki diri. Allah membenci sifat ini, karena kesombongan adalah hijab bagi doa. Hati yang mudah menilai orang lain tak akan sanggup menunduk rendah di hadapan Tuhannya.

Kesembilan, kita diberi rezeki tapi enggan bersyukur. Kita lupa bahwa rasa cukup adalah nikmat terbesar. Orang yang tidak bersyukur akan merasa kekurangan selamanya, dan dalam keadaan seperti itu, doa bukan lagi permohonan, tapi keluhan tanpa henti.

Kesepuluh, kita menyaksikan kematian, tapi tidak mengambil pelajaran darinya. Setiap liang lahat adalah pengingat bahwa dunia hanyalah persinggahan. Tapi karena hati kita keras, kematian tidak lagi menjadi nasihat. Maka doa pun kehilangan ruhnya

Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan bahwa doa orang beriman pasti didengar, namun waktu pengabulannya tergantung hikmah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga: dikabulkan segera, ditunda untuk akhirat, atau dijauhkan dari keburukan yang sepadan.” (HR Ahmad).

Artinya, doa tak pernah sia-sia. Mungkin belum dikabulkan karena waktunya belum tiba. Mungkin karena Allah sedang membersihkan hati kita agar layak menerima. Atau mungkin karena apa yang kita minta sebenarnya akan mencelakakan kita bila dikabulkan sekarang.

Kekuatan doa bukan terletak pada panjangnya kalimat atau kerasnya suara, tapi pada kejernihan hati yang memohon. Hati yang ikhlas, bersih dari riya, yakin tanpa ragu, dan tunduk sepenuhnya kepada takdir Allah — itulah yang membuat doa menembus langit ke tujuh.

Maka, jika doa kita belum terkabul, jangan buru-buru menuduh Allah tidak adil. Mungkin, justru itulah bentuk kasih sayang Allah: menunda agar kita semakin dekat, menolak agar kita semakin sadar, dan menunggu agar hati kita hidup kembali. Sebab, yang menghidupkan doa bukan lisan, melainkan hati yang bersujud sepenuh keyakinan.

Komentar (0)

Tinggalkan Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!